Ep 2. Salah Ruang
Masa depan?
Tunggu! Itu pertanyaan yang sangat aku hindari. Jangan tanyakan apa arti masa depan itu padaku. Karena aku sama sekali tidak mempunyai harapan untuk masa depan nanti. Bagaimana aku bisa berharap mempunyai masa depan yang indah? Jika diriku saja selalu dihadapkan pada hal-hal yang bertolak belakang dengan masa depan itu sendiri.
Seandainya,kalian bertanya apa masa depan yang paling aku inginkan, tentu saja jawabannya adalah aku ingin bahagia dan bebas. Sejak Papaku meninggal dua tahun lalu, jujur aku tidak memiliki semangat untuk hidup. Ditambah lagi, perlahan ekonomi keluargaku yang semakin memburuk, membuat Mamaku memasukanku ke dalam kandang singa.Tempat yang paling buruk seumur hidupku dan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Ya tuhan, apa aku bisa meneruskan kehidupanku saat ini? Aku juga ingin hidup seperti remaja umumnya. Fokus belajar untuk mencari kampus terbaik, ikut bimbel, jalan-jalan sambil makan ice cream dan jatuh cinta pada seseorang. Aku juga ingin seperti itu. Aku ingin hidup bebas dan bahagia.
‘’Tok...tok…tok…."
Aku sudah menduga jika Mamalah yang mengetuk pintu kamarku. Siapa lagi kalau bukan Mama yang mengetuk pintu kamarku, jika teman saja aku sama sekali tidak punya. Dengan cepat, aku turun dari kasur dan membukakan pintu itu. Yang kudapatkan sekarang adalah Mama yang tampak sekali marah dan ingin meluapkan seluruh emosinya padaku. Aku bertanya kepada Mama kenapa Mama menatapku seperti itu.Tapi yang terjadi berikutnya adalah Mama menamparku. Sungguh, ini pertama kalinya Mama menamparku.
“Kenapa Mama nampar Chinta? Chinta salah apa sama Mama?’’ tanyaku pada Mama sambil meneteskan air mata.
‘’Kenapa katamu? Masih sempat tanya alasannya?’’ suara Mama terdengar sangat marah di telingaku. Aku tidak berani membalas ucapan Mama. Tapi jika aku tidak membalas, bisa-bisa Mama malah menamparku lagi. Aku berniat untuk tidak menangis. Aku harus bisa! Chinta harus kuat, ucapku sendiri.
‘’Iya Ma, Chinta bener-bener nggak tahu, Chinta salah apa sama Mama.’’ Aku tak berani menatap wajah Mamaku, Aku takut.
‘’Kenapa kamu tidak menemani Om Fadil kemarin malam hah?’’
‘’Chinta belajar Ma,’’ suaraku terdengar cukup pelan.Aku yakin,pasti Mama akan memarahiku lagi.
‘’Belajar katamu? Untuk apa belajar Chinta?Yang penting itu kamu bisa punya uang banyak dan buat Mama bahagia."
Sungguh, hatiku sangat sakit sekali. Mama yang bahagia, tapi aku tersiksa Ma.
‘’Bahagia kata Mama? Mama yang bahagia,Chinta enggak!’’ Setelah itu aku berlari menuju kamarku sambil menangis tersedu-sedu.
Aku membuka buku diary kesayanganku dan menuliskan sesuatu disana.
12 Januari 2016
Dear Papa, seandainya aja, Papa masih sama Chinta sekarang, mungkin Chinta gak bakal ngadepin semua ini sendirian. Dulu setiap kali Chinta punya masalah, Chinta masih punya temen untuk dengerin curhatan Chinta.Tapi sekarang, Chinta gak punya satupun temen di sekolah Pa..Chinta sedih banget…
Setiap hari yang Chinta dapatkan adalah selalu cemoohan dan hinaan yang sama. Chinta berusaha untuk gak dengerin itu semua, tapi tetep aja Chinta enggak bisa. Nggak ada satupun yang percaya sama Chinta kalau Chinta bukan kayak gitu Pa.
Doain Chinta ya Pa, supaya Chinta
Kuat ngadepin semua ini.
Pagi ini aku berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki seperti biasanya. Karena jarak antara kontrakan dengan sekolah cukup dekat, membuatku memilih untuk berjalan kaki saja.Hitung-hitung buat menghemat uang lah.
Tiba-tiba, pandanganku tertuju pada seorang laki-laki tinggi yang sedang mencari keberadaan tempat sepertinya. Aku melihat sekilas jika wajah laki-laki itu cukup asing bagiku. Mungkin ia adalah murid baru.
Detik selanjutnya, aku berjalan menghampirinya dan menanyakan sesuatu.
‘’Umm…maaf, kamu sedang mencari apa? kok aku lihat tadi kamu kayak kebingungan gitu." ucapku padanya sambil melihat name tag di bajunya. Araga fareza? Apa dia murid baru ya?
‘’Gue lagi nyari kelas 12 MIPA 2 lo tau?’’ tanyanya kepadaku.
Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya.
‘’Iya aku tahu, kebetulan aku juga anak 12MIPA 2.Ngomong-ngomong kamu murid baru ya?’’
‘’Seperti yang lo liat sekarang."
Kemudian, dia menjulurkan tangannya ke arahku dan tersenyum lalu berkata,’’Gue Araga, panggil aja Raga."
Aku menyambut uluran tangannya dengan senyuman di bibirku. Aku pikir Raga anak yang baik. Dia sepertinya cukup humble dengan orang yang baru dikenalnya sekalipun.
‘’Aku Chinta."
‘’Apa bisa kita berteman Chinta?’’ Dia tersenyum ke arahku sambil menjukkan gigi putihnya itu.
‘’Tentu saja bisa Ga,’’ ucapku tersenyum ria karena aku tak percaya jika Raga begitu mudah mengajakku berteman.
Setelah beberapa hari, aku dan Raga semakin dekat bahkan kami bisa dikatakan sangat dekat. Hingga suatu ketika beberapa teman sekelas yang tidak menyukaiku,mengatakan sesuatu tentangku kepada Raga. Yang kebetulan saat itu aku sedang makan di kantin bersama Raga. Namun tiba-tiba, Clara dan Aya menghampiri ke arah meja kantin yang sedang kami duduki.
‘’Hei Ga, kok lo betah banget sih sama tu cewe’’. Clara dan Aya melirikku dengan sinis menunjukkan wajah tidak suka seperti biasanya.
‘’Betah lah, Chinta orangnya juga baik,
emangnya kenapa?’’
‘’Gue kan udah bilang sama lo dari pertama kali masuk kan Ga, kalo Chinta tu cewe murahan. Dia itu cewek gak punya malu. Dan lo tau Ga, dia itu kerja di club, OMG!"
‘’Cukup! Gue gak mau kalian jelek-jelekin Chinta lagi." Untuk yang pertama kalinya aku melihat dalam mata Raga seperti ada kekhawatiran disana. Aku tidak ingin jika Raga menjauhi hanya karena tahu kondisi diriku yang sebenarnya.
Raga menarikku keluar dari kantin dan sekarang kami di taman belakang sekolah.
Raga menatapku dengan tatapan mata yang tak pernah aku lihat sebelumnya.
’'Sekarang gue mohon, lo cerita semuanya sama gue."
Dadaku terasa sesak untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Raga. Tapi bagaimanapun juga, aku tidak mau terus menerus menyembunyikan hal ini kepada Raga.
Aku mengambil napas pelan kemudian berkata,’’ Semua yang dikatakan Clara dan Aya itu benar Ga. Aku emang kerja di tempat seperti itu.Tapi, aku tidak melakukannya seperti wanita murahan pada umumnya. Aku hanya menemani seseorang untuk bermain kartu saja, Ga aku..’’
Aku tidak berani meneruskan kalimatku.
Raga tiba-tiba menarikku ke dalam pelukannya dengan erat. Aku menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Raga. Untungnya Raga cukup memahami kondisiku dan mau menerimaku. Raga mengantarku pulang ke rumah agar aku bisa lebih tenang dan beristirahat. Aku turun dari motor Raga setelah kami sampai ke kontrakan rumahku. Tapi yang kulihat saat ini, Mama sedang berbicara dengan seorang pria yang tak kukenal. Tiba-tiba, Raga berlari dan menghampiri mama dan pria itu dengan cepat.
‘’Papa ngapain ke kontrakan Chinta?’’ tanya Raga sambil menatap papanya itu.
Aku mengeluarkan suara,’’ Mama kenal sama papanya Raga?’’
Detik selanjutnya, Mama bergerak maju dan memeluk Raga layaknya seorang ibu yang sedang merindukan anaknya bertahun-tahun.
Melihat itu semua, aku heran ada apa ini sebenarnya? Apa mungkin Mama dan Raga punya hubungan spesial? pikirku.
‘’Ilham, apa ini benar anakku Raga yang aku tinggalkan saat itu?’’
‘’Anak yang Mama tinggalkan saat itu?’’ Maksudnya Ma? Aku masih belum faham dengan ini semua.
Papa Raga menjawab dengan pelan,’’Iya Mirna ini anak kita yang dulu akibat perbuatan kita di luar batas. Ini Raga anak kita."
Dalam hatiku terucap,’’Kenapa bisa serumit ini?’’
‘’Jadi ini Mamanya Chinta itu Mama Raga?’’tanya Raga yang masih tak percaya.
Mama menangis tak henti-hentinya, ’’Iya sayang, ini Mama. Maafin Mama karena udah ninggalin kamu saat bayi hanya karena Mama malu dengan semuanya. Maafin Mama juga Chinta, udah ngerusak masa depan kamu."
Aku dan Raga menjawab, ’’Kami udah maafin Mama kok, kami sayang sama Mama’’.
‘’Terima kasih Nak."
‘’Chinta boleh kan Ma, punya masa depan yang indah?’’
‘’Tentu, Chinta boleh punya masa depan yang indah. Mama janji mulai sekarang nggak akan ngelarang kamu lagi."
‘’Chinta sayang Mama. Mama memelukku dengan erat dan berucap,’’ Mama juga sayang kamu Chinta."
Raga tersenyum dan menatapku, ’’Jadi nggak sayang sama aku nih?’’
Aku tersenyum dan menjawab,’’Sayang banget dong, sebagai Kakak tapi."
‘’Iyadeh Adik tersayangku."
“Kita pernah bergerak di dimensi yang salah,yang membiarkan kita terbawa arus pada dimensi itu.Tapi percayalah saat kamu berada di dimensi yang salah,kamu pasti akan menemukan sebuah ruang untuk keluar dalam dimensi yang berat itu."
-Salah ruang-
Komentar
Posting Komentar